Sabtu, 17 April 2010

MUMI-MUMI DI KRIDANGGO


Gedung Kridanggo telah terisi penuh. Bermacam-macam orang ada di dalamnya. Sebagian besar nampak pelajar dari kota ini dan kota tetangga. Tampak juga para orang tua yang mendampingi anak-anak mereka. Wajah mereka menunjukan kebanggaan dan harapan terhadap anak-anak mereka. Pedagang asongan lalu lalang berteriak, “ aqua….aquaa…aquaaa.. seger….aqua dingin!” meskipun terlihat bahwa yang mereka tawarkan adalah merk minuman mineral lain, tetap saja pukul rata, “aqua-nya mba?? Aqua-nya mas??” Salah kaprah sudah biasa. Meskipun sebenarnya mereka nggak salah sepenuhnya karena “aqua” itu memang berarti “air”. Tetapi saya yakin yang mereka maksud adalah berdasarkan merk bukan arti, jadi  tetap salah kaprah. Kalau membahas salah kaprah itu nggak ada habisnya. Sudah tahu kalau salah tetapi kok tetap susah buat benerinnya. Satu contoh adalah “mati lampu”. Memang sih lampunya mati tapi bukankah lebih tepat kalau dibilang “mati listrik”. Tapi kok kalau bilang “mati listrik” itu nggak enak banget di lidah ya? Di dengar juga kayaknya “asing”. Kalau “listrik mati” baru enak didengarnya. Contoh lain, “menanak nasi”, “nggodog wedang” (nggodog artinya memasak, wedang artinya air matang atau air panas), dan masih banyak contoh-contoh lain.
Kembali ke…… aqua… eh bukan ke pedagang asongan tadi… juga bukan….  Kridanggo!! Gedung ini dibangun pada masa kerajaan Majapahit, dibangun pada tahun 1298 sebagai hadiah dari raja majapahit untuk permaisuri. Umurnya sudah tujuh abad lebih!!! Coba kalian bayangkan dulu.  Wakakakakakakakkk…… kejauhan ya… ?? nggak kok. Kridodono itu dibangun entah kapan tetapi yang jelas (mungkin) beda-beda tipis dengan umurku. Di sini saya dan teman-teman akan melakukan debut pertama. Di mana-mana yang namanya penampilan pertama pasti bikin salting dan nervous berat. Jujur saja saya merasa seperti ada orang yang mukul-mukul bedug dalam jantung, “dug… dag… dig.. dug…” semakin nggak konsen. Kalau suasana seperti ini jadi teringat nasihat teman…. tarik napas… ssstttttttttt…., hembuskan… phuuuhhhhhhh….. tarik napas lagi… stttttt…. , hembuskan… phuhhhhhh….. agak lumayan ternyata. Sedikit lebih rileks. Teman-teman yang lain juga melakukannya. Kemudian kita berdoa bersama. “Kita sambut Beethoven band” band kita dipanggil MC. Dari balik panggung kita muncul malu-malu, satu-satu, saya terakhir, disambut gemuruh tepuk tangan yang saya yakin hanya sekedar basa-basi penonton semata. Bagaimana mungkin band yang baru pertama kali manggung sudah mendapat apresiasi begitu baik? Bukankah kita tak mengenal mereka dan mereka tak mengenal kita. Apa namanya kalau bukan sekedar basa-basi penonton. Tetapi saya tidak mau pikir pusing. “Sabarlah para fan, sebentar lagi akan kalian lihat penampilan kami yang sensasional!!” begitu pikir saya dalam hati, mencoba membangkitkan kepercayaan diri.
Panggung setinggi kurang lebih dua meter. Di atasnya saya berdiri seperti membeku. Teman-teman yang lain pun sama. Kita seperti segerombolan mumi yang diawetkan. Diam. Ya benar segerombolan mumi. Diantaranya mumi basah kuyup karena keringat. Mumi celengas-celengos pun ada. Saya sendiri seperti mumi linglung. Tidak satupun ingat kord-kord lagu yang akan kita mainkan. ”Terkutuklah engkau gitar kuda!” saya berkata dalam hati menyalahkan gitar kuda yang membawaku menjadi mumi linglung seperti ini dihadapan ratusan orang.

Artikel Terkait



3 komentar:

  1. iniii.. iniiii.. festival pertama tu yaaah ???
    ak lupa nama gedungnya.. :))
    yaampuuun.. lucu bangeet kalo ingeeeet... hahahaha
    entah gmana ko ya 'trekeng' semuaa !! *eh bener ga yah bahasanya?? XD*
    angin malam pertama sambil pencet2 keyboard.. :))
    seneng banget bisa jadi bagian dari kaliaaan !!!

    BalasHapus
  2. fotone cuakep.....
    iso digawe wallpaper he 10X

    BalasHapus