Sabtu, 17 April 2010

ASAL JANGAN KABELMAN


Dari kampungku “hijrah’’ ke kampung sebelah. Awalnya adalah saya diajak teman sekolah dan sepermainan membentuk sebuah band. Bukan main bahagianya. Tanpa cas cis cus langsung saya bilang setuju. “Pegang apa saja saya mau, asal jangan kabel” begitu prinsipku. Saya “diangkat” menjadi bassis. Wow. Kayak Thomas Ramdhan dong, atau Billy Sheehan. Saya langsung setuju saja, ya karena itu tadi “asal jangan pegang kabel”. Namun apa daya, nafsu kuda tenaga ayam. Berharap bisa seperti Billy Sheehan tetapi malah lebih mirip Mas Likhan, tetangga saya yang pernah banting gitar anaknya karena disuruh belajar malah main gitar. Lagi pula bass itu besar, sementara badan saya kurus kecil. Bisa-bisa di atas panggung badan saya tidak kelihatan karena tertutup bass. Nggak lucukan kalau penonton pada kabur karena lihat bass bunyi sendiri tanpa ada yang memainkan. “Ini pembunuhan karakter” pikirku. Keputusan yang kejam dari mereka dengan menjadikan saya seorang bassis. Saya urungkan niat saya menjadi seperti Sheehan. Akhirnya terjadilah reposisi. Saya pegang gitar. Langsung muncul dalam pikiran wajah-wajah semacam Dewa Budjana, Ian Antono, Slash. Tetapi bayangan wajah-wajah tersebut perlahan hilang setelah saya ingat bahwa saya seorang gitaris 4 kunci, A minor, C, F, G. “Selalu ada jalan apabila diikuti kemauan keras” tiba-tiba diri ini menjadi seorang bijak.
Untuk menghilangkan predikat gitaris 4 kunci tadi maka saya belajar ke kampung sebelah. Di situ saya bertemu Mas Mig dan belajar musik darinya, khususnya gitar. Mas Mig itu seorang yang tinggi menjulang, kurus, dan tentunya berambut panjang sebahu. Jarinya panjang-panjang dan besar-besar. Begitu sabar dalam mengajar gitar. Sabar. Ya benar, sabar adalah syarat mutlak seorang guru yang baik. Terima kasih mas Mig.

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar