Kamis, 03 November 2011

DAHLAN ISKAN. Ingin mengenalnya. Bukan mencintainya.

DAHLAN ISKAN
Ingin mengenalnya. Bukan mencintainya.
Oleh: Chiemot D'hornet

Malam ini saya asyik menyelam. Bukan karena udara panas yang disebabkan cuaca yang sudah tidak menentu, lalu kemudian saya berendam, tetapi karena saya ingin mengenal seseorang bernama Dahlah Iskan. Lagipula saya tidak menyelam di kolam, apalagi di empang tetangga, tetapi saya mencoba menyelami pikiran Dahlan Iskan. Berendam di dalam tulisan-tulisannya.

Kesan pertama saya, saat pertama kali membaca tulisan beliau adalah, sangat dalam. Sangat dalam wawasannya. Dan adil dalam beropini.

Sebelum saya bercerita lebih jauh, tentunya saya tidak perlu menjelaskan di sini karena anda juga pasti sudah tahu bahwa saya tidak mengenal beliau secara langsung, apalagi akrab berteman bagai kepompong. Saya hanya mencoba mengenal beliau melalui tulisan-tulisannya. Karena menurut saya, tulisan itu lebih –mudah- jujur dari pada lisan. Saya putuskan, malam ini saya akan menyelam sedalam mungkin ke dalam samudera berpikirnya.

Dan sungguh tragis. Ada dua alasan yang membuat demikian itu. Alasan pertama, pemikiran dan pengetahuan beliau ternyata sangat dalam. Sedangkan kemampuan menyelam saya yang sangat terbatas ini memaksa saya untuk lebih banyak belajar ekstra super keras lagi. Ditambah lagi, dan ini adalah alasan kedua, mata saya sudah mulai mengantuk. Kesadaran mulai buyar. Alhasil penyelaman saya malam ini sangat dangkal. Hanya –mampu- membaca tiga catatan yang ditulis oleh beliau.

Seribu catatan yang saya tulis mungkin –sedikit lebih optimis dari pada saya bilang ‘pasti’- nilainya tidak lebih baik dari –yang hanya- tiga catatan (tulisan) beliau yang telah saya baca. Itulah kenapa saya bilang, saya perlu lebih banyak belajar ekstra super duper keras lagi. Salah satunya ya dengan mengenal beliau ini. Belajar itu tidak melulu hanya dengan mendengar sang guru berbicara saja, melihat sang guru menulis pun kita dapat 'mencuri' ilmunya.

Satu catatan saja dapat membuka ratusan pintu kotak penitipan memori di kepala saya, membukanya dan menyimpannya. Merangsang sel-sel otak saya. Hal itu dikarenakan pada saat membaca tulisannya saya lebih banyak, ber"ohh ternyata begini, oohhh ternyata begitu". Sadarlah betapa dangkalnya diri ini. Benar pepatah yang mengatakan bahwa, "semakin kita tahu, maka kita akan semakin merasa bodoh". Merasa bodoh karena, kok kenapa baru tahu sekarang?

Tetapi tidak lantas saya langsung fanatisme berlebihan dan menjadi subyektif dalam menilai beliau. Bukan juga karena hati ini telah buta disebabkan oleh perasaan yang sangat sendu merindu kepada sesosok orang yang dapat membawa bangsa ini lebih baik. Saya tetap berusaha pada jalur, 'ingin mengenalnya', bukan 'ingin mencintainya'. Biarkan perasaan cinta atau benci timbul dengan sendirinya setelah saya mengenalnya.
Semoga dan semoga, beliau adalah orang yang memang bersungguh-sungguh untuk baik. Sungguhan baik, dan istiqomah.

Selamat malam pak. Sudah larut malam, saya tidur duluan. Nyuwunsewu, karena anda sekarang adalah seorang menteri, mohon jam tidurnya dikurangi. Negara sedang gawat, kalau pemimpinnya santai saja bisa-bisa kuwalat. Rakyat butuh gebragan anda. Selamat bekerja keras di negara yang keras ini.

(1-11-2011. Sambil memeluk bantal guling. Di kamarku)

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar