Selasa, 13 Maret 2012

PLAYBOY KARET (Bab VI - Seorang Lelaki Harus Berani Melangkah)

Bab VI
Seorang Lelaki Harus Berani Melangkah

Aden seperti kesurupan jin kampus. Dia banyak menghabiskan waktunya di ruang dosen dan perpustakaan. Tekadnya sudah bulat. Dia harus segera menyelesaikan skripsinya, ujian, mendaftar wisuda, lulus dan secepatnya pergi dari kota ini. Semakin cepat semakin baik. Dia tidak mau berlama-lama di kota ini. Jarak kost dan kampus UGM yang dekat membuat peluang untuk bertemu dengan Fidhi sangat besar. Aden selalu waspada, jangan sampai bertemu dengan perempuan itu lagi. Pikirnya.
Hari terus berjalan. Detik pun terus berlari.
Hari ini Linggar Radendya resmi menyandang gelar sarjana. Dua huruf SE di belakang namanya membuat namanya semakin terlihat jantan. Setelah selesai acara wisuda dia tidak melewatkan untuk berfoto bersama keluarga. Mengabadikan tempat-tempat di kampus yang telah menjadi saksi bisu perjuangannya dalam meraih gelar sarjana. Mba penjaga kantin pun tak lupa dimintanya untuk berfoto bersama. Setelah puas mengambil foto, Aden beserta keluarganya langsung menuju salah satu rumah rumah makan di Jogja. Selesai makan keluarga Aden memutuskan untuk langsung pulang ke Semarang. Aden pulang menuju kost menggunakan taxi. Dalam perjalanan pulang menuju kost handphonenya berdering.  
“Halo ... betul saya berbicara dengan Linggar Radendya, SE?” sebuah suara keluar lewat speaker handphone Aden.
“Ah kamu Ferr, biasa aja deh.” Jawab Aden, mengenali suara orang tersebut.
“Haha ... selamat ya kawan. Akhirnya ... “ Ferry berhenti berbicara.
“Akhirnya kenapa?” tanya Aden.
“Akhirnya aku bisa makan enak lagi hehe. Makan-makan dong.” Jawab Ferry.
“Bereeesss. Kamu kabarin Andry, Vivid, Dona, dan Angga. Kumpul di tempat biasa jam delapan malam ini.”
“Siap laksanakan.”
“Dan ingat, satu undangan hanya berlaku bagi satu orang. Kalau bawa cewek suruh bayar sendiri.” Tegas Aden.
“Baik pak Linggar Radendya, SE. Nanti saya konfirmasi lebih lanjut.” Ferry kembali menggoda.

“Ah kamu Ferr, biasa aja deh.” jawab Aden mencoba merendah, malu, tetapi terselip rasa bangga di hatinya.

======================

Pukul delapan malam lebih seperempat mereka berkumpul di Cafe Jonai. Cafe itu menjadi tempat favorit mereka jika salah satu dari mereka baru saja mengalami sebuah peristiwa yang menggembirakan. Peristiwa jadian, kelulusan, naik jabatan, dapat job manggung dan berbagai peristiwa menggembirakan lainnya pasti diakhiri dengan acara makan-makan di Cafe Jonai. Letaknya di tengah kota, ramai dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswi berkantong tebal dan bermobil. Mengingat harga-harga menunya yang cukup mahal, praktis setelah acara makan-makan ini Aden terpaksa harus puasa jajan selama sebulan ke depan. Ono rego ono rupo, begitu orang jawa bilang. Ada harga ada rupa. Mereka memang tidak pernah dikecewakan jika harus membayar mahal di situ. Makanan berkelas hotel berbintang, sampai makanan ringan dengan menu ala negara-negara asing ada di situ. Pemandangan yang bisa dinikmati di sana juga tidak kalah eksotis dengan rumah makan-rumah makan di Bali. Letaknya yang tinggi di atas perbukitan bisa membuat mereka menikmati pemandangan bernuansa klasik kota Jogja di kala malam. Tetapi pemandangan yang lebih membuat mereka tertarik tentunya adalah cewek-cewek cantik yang berdatangan ke cafe tersebut. Cowok-cowok berdompet tebal dengan mobil mewahnya pasti mengajak dinner cewek-cewek cantik Jogja ke situ.
Lima pemuda terlihat cemas duduk memutari sebuah meja di sudut ruangan.
“Udah jam delapan lebih seperempat tuh orang lum nongol juga.” Vivid melihat jam yang melingkar di tangannya.
“Dasar playboy karet.” Dona mulai sewot.
“Kok kalian nggak berangkat bareng dari kost?” Angga bertanya pada Ferry dan Andry.
“Tadi gue berangkat duluan jam tujuh karena mau mampir kost Fifi. Andry ikut gue.” Jelas Ferry.
Seorang perempuan datang menghampiri mereka. “Maaf kak ada yang bisa saya bantu.?”
“Oh ... Ada dek. Kebetulan sekali. Bisa tolong tuliskan nomor handphone adek di situ.” Ferry menunjuk sebuah buku lirik lagu yang dibawa oleh Vivid.
“Oh .. silahkan. Ini. Maaf kalau merepotkan.” Vivid dengan senang hati menyerahkan buku liriknya sambil melemparkan senyumnya semaksimal mungkin.
Perempuan itu hanya tersenyum.
“Maaf dek, mereka bandel. Kita masih nunggu seorang teman kita. Pesan makannya nanti saja.” Andry menjelaskan.
Perempuan itu kemudian pergi meninggalkan mereka.
“Kalau dia nggak dateng gimana? Masa mau cabut? Malu dong. Mau ditaruh di mana muka kita yang keren-keren ini?” Dona khawatir.
Beruntung tak lama kemudian Aden nongol. “Sori kawan, aku ketiduran, hehe.”
Mereka lega. Memanggil perempuan tadi dan segera memesan makanan. Tidak perlu waktu lama makanan dan minuman yang mereka pesan sudah datang dan terhidang di meja.
“Setelah ini apa rencana kamu Den?” Dona bertanya sambil menyantap steak favoritnya.
“Masih belum tahu, tapi yang jelas aku harus pergi dari kota ini. Entah ke Jakarta, Semarang, Papua, Alaska, India ... yang penting pergi dari sini. Secepatnya” Jawab Aden asal.
“Segitunya kah? Calm kawan. Tak perlu terburu-buru. Rencanakan dulu baru kemudian melangkah.” saran Angga.
“Kota ini terlalu sempit untuk selalu menghindar darinya.” Aden memberi alasan.
“Masih belum juga bisa melupakannya? Ketakutanmu untuk bertemu dengannya terlalu berlebihan, kawan. Itu justru akan membuat kamu semakin terus memikirkannya. Tak perlu kamu berlari menghindar. Siapa tahu dia itu ternyata adalah jodohmu. Jodoh tidak bisa dihindari.” Panjang lebar Andry berbicara.
Semuanya kembali terdiam. Sibuk dengan hidangan masing-masing.
“Aku akan pulang kampung dulu. Di sana aku bisa lebih tenang memikirkan rencana ke depan.” Aden lanjut berbicara.
Semuanya mengangguk tanda setuju. Setelah itu mereka melanjutkan berbicara tentang rencana masing-masing. Ferry masih harus terus berjuang menyelesaikan S2-nya di UGM. Andry akan tetap bekerja di perusahaan swasta milik temannya sambil berusaha menyelesaikan kuliah S2-nya. Dona masih akan terus mengajar musik di salah satu sekolah swasta di Jogja, sambil terus ngeband. Vivid memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya yang sekarang dan memilih merintis usaha sendiri, dengan harapan lebih mempunyai banyak waktu untuk ngeband. Sementara Angga memutuskan untuk berhenti ngeband sementara dan berkonsentrasi penuh untuk menyelesaikan tesisnya.
“Ngomong-ngomong soal band, memangnya kalian mau ngeband hanya berdua?” tanya Ferry pada Vivid dan Dona.
“Iya, Aden dan Angga kan sudah keluar dari band? Tinggal kalian berdua” Andry menegaskan pertanyaan Ferry.
“Nggak masalah, nanti aku ngebass sambil ngedrum sekaligus. Dan Dona pegang gitar, keyboard, dan nyanyi sekaligus.” Jawab Vivid setengah bercanda.
“Kamu Ferr, nanti bantuin kita ya?” timpal Dona. Membuat Ferry geer dan antusias. Menjadi pemain band memang sangat diinginkannya dari dulu, tetapi karena feeling musiknya yang sangat jelek membuatnya susah dalam belajar alat musik. Padahal Vivid, Dona, dan Angga sering mengajarinya jika mereka ngumpul di kost. Suaranya pun sudah tak tertolong, seperti anjing menggonggong, serigala melolong.
“Bantuin apa? Gue kan nggak bisa memainkan alat musik. Jadi vokalis kalian maksudnya?” tanya Ferry antusias. Matanya berbinar.
“Bantuin pegangin panggung biar nggak roboh.” Ledek Dona.
Wakakakakakakakakakak. Semua orang melihat ke arah mereka. Merasa terusik malam romantisnya. Mereka tak perduli.
“Aden dan Angga nggak akan pernah keluar dari band ini. Mereka hanya lagi ngungsi sementara.” Kata Vivid.
“Iya benar, kalau kalian kangen ngeband dan pengen balik lagi dua tempat itu selalu kita siapin buat kalian berdua.” Dona menambahkan.
Aden dan Angga mengangguk, tersenyum.
“Hidup, The Virensu!!” Andry mengangkat gelasnya. Semua ikut mengangkat gelasnya.
“Hidup Linggar Radendya, SE.” Ferry nyeletuk. Beberapa pengunjung lain kembali memandang mereka.
“Biasa aja kali, Ferr.” Aden kesal. Kakinya menginjak kaki Ferry.
“Toss ...”
“Toss ...”

-Bersambung-

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar