Senin, 30 Juli 2012

PLAYBOY KARET (BAB VIII - Seorang Lelaki Harus Berani Berperang)

BAB VIII
Seorang Lelaki Harus Berani Berperang

Tidak henti-hentinya Aden memandang saldo rekening di buku tabungannya. Gaji pertamanya sungguh membuatnya merasa telah benar-benar menjadi seorang lelaki sejati. Hatinya kini bagai adonan. Perasaan bangga, terharu, senang, dan bingung bercampur aduk menjadi satu. Motor, Blackberry, gitar akustik, sepatu, pakaian, laptop, semuanya itu muncul tiba-tiba dalam pikiran Aden.
Dua juta lima ratus rupiah. Buat DP kredit motor lima ratus ribu, beli gitar akustik lima ratus ribu, Blackberry satu juta setengah, lha trus gue makan apa sebulan ke depan?”
“Motornya nanti saja deh, gue malu di kantor kalau ditanyain PIN BB selalu saja gue kasih PIN ATM. Oke deh BB sama gitar dulu.”
“Eh tapi masa gue ngangkot terus sih? Jadi sering telat dan kena semprot bos ntar.”
“Haduuhhh ... pusing deh ah.” Dalam batin Aden ragu dan bingung memilah-milah mana yang harus diprioritaskan.
Sudah sebulan Aden tinggal dan bekerja di Jakarta. Menjadi manusia setengah robot yang dipaksa untuk selalu produktif setiap harinya. Rutinitas yang hampir sama setiap hari dilaluinya. Kerja kantoran menuntutnya agar selalu bangun pagi-pagi, sesuatu yang sangat dibencinya. Kata ‘aku dan kamu’ kini berubah menjadi kata ‘gue dan elu’.
Jakarta kota yang keras. Pertarungan ide, mental, dan modal terus terjadi selama dua puluh empat jam penuh. Siapa yang lemah pasti tersisih. Siapa yang lengah pasti terlindas. Aden berjuang di dalamnya. Mentalnya semakin terasah. Semakin percaya diri.
Hari minggu biasanya dihabiskan untuk hibernasi seharian penuh. Tak ada yang dilakukannya selain, tidur, makan, tidur, makan.
“Ini hari minggu kan, Den?” tanya Jeni heran.
“Iya.” Jawab Aden singkat sambil merapikan rambutnya di depan cermin.
“Tumben, rapi amat. Mau ke mana?”
“Mau ketemuan sama seseorang. Eh kalau mau ke Slipi naik apa dari sini?” tanya Aden. Dia memang masih belum hafal dengan Jakarta. Sebulan ini yang dilakukannya hanya dari rumah bude di pasar minggu ke kantornya di Mampang. Selama sebulan penuh hanya rute itu yang selalu dilaluinya, kecuali hari minggu rutenya berganti menjadi, kasur-meja makan, kasur-meja makan.
“Ngapain ke slipi? Gue kebetulan mau ke grogol. Kalau mau nebeng gue aja. Lewat kok.” Jeni memberikan tawaran.

Aden nyengir sambil mengangguk.



“Gimana bang, materi lagu-lagunya? Itu masih kualitas demo. Kita bisa memperbaiki kualitas rekamannya kok.” Tanya Aden, Percaya diri. Setelah menunjukan demo lagunya pada seorang lelaki berpenampilan khas eksekutif muda. Seorang produser salah satu label rekaman di Jakarta. Aden mengenalnya dari seorang teman di kantornya.
“Materi lagu-lagunya marketable. Lumayan jualan. Nada-nadanya juga catcy. Siapa yang bikin lagu-lagunya?” tanya sang produser.
“Semua lagu kebetulan saya yang buat, bang.” Jawab aden mantap.
“Lue cukup berbakat bikin lagu. Suara lue juga lumayan kuat karakternya.” Puji sang produser.
“Kalian band dari mana? Gue bisa lihat foto-foto personil band yang lain nggak?” sang produser kembali bertanya.
“Kita band dari Jogja, bang. Foto ada sih, tapi di handphone.”
“Nggak masalah, mana gue lihat.”
Aden menunjukan foto bandnya di layar handphonenya. Sang produser mengangguk-angguk. Diam beberapa detik. Aden antusias menunggu sang produser memberi keputusan. Percaya diri dengan materi lagu-lagunya.
“Kalau personilnya ganti gimana? Lue mau?”
“Maksudnya bang?” Aden tak mengerti.
“Di label gue nggak hanya lagu-lagunya yang kita jual. Penampilan, performa band juga kita jual. Penampilan lue sih, oke lah buat kita jual, tapi personel-personel yang lain nggak jualan banget, bray.” Sang produser menjelaskan.
Aden hanya diam tak menjawab. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sang produser. Pikirannya melayang mengenang kebersamaan selama lebih dari empat tahun bersama Dona, Vivid, dan Angga. Baginya mereka itu lebih dari sekedar teman band. Mereka adalah sahabat yang sudah dianggapnya keluarga sendiri.
Kesempatan nggak datang dua kali Den.
Kalau elu udah sukses, kapan-kapan lue bisa ajak mereka.
...............................................
Tega lue Den. Elu mau hianatin mereka?
“Gimana? Lue bentuk band baru deh. Nanti kita yang cari personilnya?” suara sang produser mengagetkan Aden.

“Eh .. oh .. maaf bang. Saya pikir-pikir dulu deh. Lusa saya kasih kabar via telpon.” Aden menjawab. Dalam batinnya dia sudah mengambil keputusan. Tidak akan pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya itu.

===============================

Sebuah sms masuk, mengganggu kemesraannya bersama secangkir kopi dan sebatang rokok di suatu sore yang cerah itu. Diraihnya handphone itu dan dibukanya sms tersebut.
Dari : Kapal Ferry
Den, bisa telpon nggak. Pulsa gue limit. Penting.
 Aden langsung mengubungi Ferry saat itu juga.
“Ada apa, Ferr?” to the point Aden bertanya.
“Den, tadi barusan gue ketemu Fidhi di kampus. Minggu depan lue bisa balik Jogja nggak?” jawab Ferry.
“Fidhi? Lha trus apa hubungannya ma gue?”
“Dia cerita kalau lagi nyari band buat diundang ke acaranya. Dan kebetulan gue cerita kalau lue punya band. Gue rekomendasikan band elu dan dia langsung setuju. Gue dah kontak Angga, Vivid, dan Dona, mereka semua dah oke. Elu gimana?” Ferry menjelaskan bak seorang manager band.
“Lue kan tahu Ferr, gue malu kalau ketemu Fidhi lagi. Gue dah berusaha menghindar sebisa mungkin. Eh malah lue tawarin band gue. Monyong lue. Ogah ah.” Aden sewot
“Sori kawan, gue tahu itu. Tapi ini bukan acara biasa. Karir band kalian bisa ditentuin di sini. Fidhi itu anak orang kaya. Nanti akan datang tamu-tamu penting relasi bisnis ayahnya. Termasuk juga gue denger dari Fidhi, kalau omnya Neon itu produser salah satu label rekaman besar, dia pasti datang pas acara nanti. Ini kesempatan besar untuk bisa unjuk kebolehan band kalian.” Ferry meyakinkan.
“Neon? Memang acara apaan Ferr?”
“Emm itu ... oh, eh ... pesta pertunangan Fidhi dan Neon.”
DEG!
“Gue pikir-pikir dulu, ntar gue kabarin”
Tuttt .. tutt ... ditutupnya telpon tersebut tanpa memberi kesempatan Ferry untuk mengakhiri pembicaraan.
“Fidhi tunangan? Dengan si gajah duduk itu?” Aden setengah tak percaya. Dia memang setengah menyerah untuk mengejar Fidhi. Rasa malunya terlalu besar sampai menutup kesadaran hatinya, bahwa cintanya kepada Fidhi sangat besar. Sekuat hati dia berusaha meredam perasaannya dan pergi sejauh mungkin dari kehidupan Fidhi. Tetapi kali ini kembali dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Dia dituntut untuk maju ke medan perang.  Jika dia maju, dia akan berperang melawan dua monster. Monster Malu dan Monster Patah Hati. Tetapi  jika mundur dia pasti akan mengecewakan teman-temannya, dan kemungkinan besar seumur hidup dia akan tetap menjadi pria kantoran, karir yang sangat dibencinya.

Maju ... mundur ... maju ... mundur ... Dua kata itu yang selalu membayanginya selama tiga hari terakhir ini.
======================================

“Gila aja, masa gue harus lihat cewek yang paling gue taksir dari dulu itu tunangan. Dah gitu mau ditaruh di mana muka gue nanti? Gue dah ancur di depan dia. Dah malu banget gue kalau harus ketemu dia.” Aden mecurahkan kebingungannya kepada Jeni. Orang satu-satunya yang bisa Aden ajak sharing. Aden seorang yang tertutup. Tapi kali ini dia tak mampu menyimpan permasalahan itu sendirian. Jeni hanya diam mendengarkan semua kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Aden, sampai akhirnya dia selesai, sudah merasa sedikit lega.
“Den. Gue bukan seorang yang bijak, yang bisa memberikan solusi bijak atas permasalahan lue itu. Gue hanya bisa menyimpulkan. Ini semua bukan tentang band, karir, atau rasa malu lue yang sudah terlanjur akut itu. Ini tentang seorang lelaki yang justru lari dari apa yang ingin dicapai hatinya. Elu masih cinta banget ma dia, Den.” Jeni berkata tenang. Aden diam mendengarkan, jauh di dalam hatinya dia membenarkan apa yang dikatakan Jeni.
Gue memang cinta banget ma dia.” dalam batin Aden.
“Lue mundur atau maju, pertunangan itu pasti akan tetap terjadi. Pebedaannya hanya, jika lue mundur Fidhi akan benar-benar jadi milik orang lain. Tetapi kalau lue maju, masih ada kemungkinan lue dapetin dia. Meskipun tipis kemungkinan itu, tapi seenggaknya lue bisa tunjukin siapa diri lue yang sebenarnya.” lanjut Jeni.
Jeni berdiri, meraih tasnya. “Sori, gue tinggal dulu, dah telat nih ada janji sama temen.”
“Jangan berhenti berjuang, sebelum janur kuning melengkung.” Jeni menambahkan sambil meninggalkan Aden sendiri di kamarnya.
Kata-kata Jeni terngiang-ngiang dalam pikiran Aden. Gue nggak bisa terus lari seperti ini. Tangannya bagai bergerak sendiri meraih handphonenya. Dicarinya nomor telepon Ferry dalam daftar kontaknya. Call.
“Ya, haloo.” Ferry menjawab.

“Ferr, oke, gue berangkat Jogja hari Jumat.” Kata Aden, mantap.
========================================

Para tamu undangan telah hadir di gedung tempat pesta pertunangan berlangsung. Tamu undangan adalah dari pihak keluarga Fidhi, pihak keluarga Neon, dan relasi bisnis ayah Fidhi dan ayah Neon. Gedung dengan nuansa keraton itu memang biasa menjadi tempat pesta pertunangan. Dekorasi ruangan lebih banyak dominan dengan warna biru. Pelayan-pelayan katering sibuk dengan pekerjaannya masing-masing melayani tamu undangan. Dari pihak masing-masing keluarga saling berkenalan. Para tamu undangan dari kalangan pengusaha memanfaatkannya untuk mencari relari bisnis sebanyak-banyaknya.
            Fidhi terlihat sangat anggun dengan gaun pestanya bermotif bunga, dominan merah. Sengaja dibuat mencolok dan menarik perhatian, karena dia lah putri pada acara itu. Di sebelah kanan dan kirinya, orang tuanya berdiri mengapit. Di atas sebuah karpet merah panjang Fidhi berdiri anggun. Neon datang mendekat kepadanya dengan membawa sebuket bunga. Bunga itu diberikannya kepada Fidhi dengan disambut tepuk tangan dari para hadirin. Kemudian mereka berjalan berdua menuju panggung. Di atas panggung dilakukan prosesi puncak acara, pemberian cincin. Cincin emas melingkar indah di jari manis Fidhi.
Aden tidak mampu menyaksikannya. Sengaja menyibukan diri dengan berputar-putar mengelilingi meja prasmanan. Dicobanya hampir semua makanan yang terhidang. Setelah sambutan dari perwakilan kedua keluarga, acara selanjutnya adalah hiburan musik. Aden, Vivid, Angga, dan Dona naik ke atas panggung. Host acara berbicara.
“Silahkan para hadirin kembali menikmati hidangan yang disajikan, dan menikmati hiburan musik. Kita sambuuuuuttt ... THE VIRENSU.” Beberapa hadirin memberikan tepuk tangan, sebagian besar lainnya acuh dan sibuk dalam obrolan masing-masing.
Aden maju ke depan panggung. Hadirin mulai menyimak.
“Tes ... tes ... tes ...  “ Aden seperti sedang mengecek microfone.
 “Tes ... tes ... tes ... itu bunyi tetesan air dari surga. Air kebahagiaan yang akan memandikan saudara Reneon Janitra dan saudari Fidhi Kirana Larasati. Selamat untuk kalian.” Aden mengawali. Sama sekali tidak nampak raut wajah cemburu, patah hati, ataupun malu. Kali ini dia benar-benar percaya diri.
“Kalau para hadirin menghendaki lagu-lagu tembang kenangan atau nostalgia, berarti nona Fidhi telah salah mengundang kami.” Aden sadar para tamu undangan didominasi oleh lelaki dan wanita setengah baya.
“Kalau para hadirin ingin bergoyang dalam irama dangdut, nona Fidhi juga telah salah mengundang kami.” Lanjutnya sangat percaya diri.
“Kalau para hadirin juga mengharapkan kami membawakan lagu-lagu hits anak-anak muda jaman sekarang, nona Fidhi salah besar telah mengundang kami.” Kata-kata Aden disambut Riff gitar Dona.
Kau Biarkan, sebuah karya dari kami” Aden memperkenalkan judul lagunya. Sebagian besar hadirin masih saja acuh. Beberapa menyimak, salah satu diantaranya adalah pak Ali, om Neon, yang merupakan produser sebuah label rekaman di Jakarta.
Tak pernah aku melihat senyum di wajahmu.
Tak pernah aku melihat lagi.
Sejak kau putuskan untuk pergi tak kembali.
Tanpa perduli padaku lagi
Kau biarkan hati ini mati
Tak mampu jatuh cinta lagi
Kau biarkan jiwa ini letih, tanpamu
Dan sengaja kau buat begini
Pergi tinggalkan ku sendiri
Teganya kau bermain hati, padaku.

Aden menyanyikannya dengan sangat menjiwai. Vokalnya yang bagus, ditambah penampilannya yang necis cukup membuat sebagian hadirin yang tadinya acuh menjadi sedikit-demi sedikit menyimak. Bahkan tamu undangan dari kalangan remaja terutama yang perempuan, sangat antusias menyimak. Lagu demi lagu mengalun. Sebagian besar hadirin terlihat mulai menikmati. Meskipun lagu-lagu itu baru didengarnya, tetapi mereka terlihat cukup menikmati. Dan Aden sendiri sangat puas dengan penampilannya hari ini. Tidak ada satupun hal memalukan yang biasa dilakukannya di hadapan Fidhi.
Ini gue yang sebenarnya, Fi.
===================================

Sore ini Aden seharusnya pulang ke Jakarta. Besok senin dia berangkat kerja. Tetapi dia memutuskan untuk tinggal sehari lagi di Jogja. Ada sesuatu yang sangat penting, yang harus dibicarakan dengan Angga, Vivid, dan Dona.
“Lue kok nggak balik ke Jakarta? Kerjaan lu gimana?” tanya Vivid, kaget dengan kehadiran Aden di basecamp mereka, studio 86.
“Gue di PHK.” Jawab Aden singkat, dengan muka dibuat sesedih mungkin.
Semuanya kaget mendengar berita tersebut. Ferry yang juga kebetulan sedang ikut nongkrong adalah orang yang paling kaget mendengar kabar tersebut.
“Lho kenapa? Sebentar gue telpon Fifi dulu. Coba gue rayu tuh bokapnya Fifi.” Ferry mengambil handphone dari sakunya.
“Eh ... nggak usah, Ferr. Bukan di PHK kok, gue keluar.” kata Aden, cepat.
“Kamu nggak betah? Di siksa? Romusha? Kerja rodi?” tanya Dona, enteng.
“Yee ... bokap Fifi nggak mungkin seperti itu. Dia itu orang yang baik.” Ferry tak terima.
“Gue keluar kerja karena pengen ngeband lagi bareng kalian.” Aden beralasan.
“Gila lu, ngorbanin karir kerja cuma buat ngeband nggak jelas kayak tadi?” Dona heran.
“Aku tahu kamu cinta banget sama musik, tapi realistis dong, Den. Nggak gampang jaman sekarang cari kerja.” Kata Angga.
Aden hanya diam. Semuanya ikut terdiam. Kurang lebih selama setengah menit mereka hanya saling bertukar pandang.
“Siapa bilang kita ngeband nggak jelas?” tiba-tiba Aden berbicara.
Semua berusaha mencerna pertanyaan Aden. Berpikir dan kembali tercipta keheningan.
“Jangan bilang kalau kita dapat kontrak rekaman dari Omnya Neon, yang Ferry ceritakan itu?” Vivid memecah keheningan, bertanya ragu.
Aden tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dan mengangguk.
“Serius kamu Den? Jangan bercanda dong.” Tanya Angga, antara percaya dan ragu.
“Iya serius. Tadi waktu gue dah nyampe stasiun, dah beli tiket malahan, pak Ali telpon gue. Entah dia tahu nomer telpon gue dari siapa. Dia bilang sangat tertarik dengan band kita. Kita ditawari kontrak rekaman album.” Jelas Aden bersemangat.
WAAAAAAAAA ... pecahlah teriakan-teriakan bahagia, ucapan syukur dari mereka.

-BERSAMBUNG-

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar