Jumat, 23 Maret 2012

PLAYBOY KARET (Bab VII - Seorang Lelaki Tidak Boleh Malas)

BAB VII
Seorang Lelaki Tidak Boleh Malas

Pemuda itu masih saja tertidur saat waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Pemuda itu masih saja berlindung di balik selimut saat bangsa ini terpuruk dengan berbagai kasus korupsi dan membutuhkan keberanian dari para anak bangsa untuk memeranginya. Pemuda itu masih saja terpejam saat kerja bakti di kampungnya telah selesai pada hari minggu itu. Pemuda itu bahkan masih saja terlelap saat terdengar suara ramai ibu-ibu yang ngerumpi di acara arisan di rumahnya itu.
“Mas bangun! sudah siang.” Kalimat itu yang sedari pagi ibunya ucapkan, tetapi sia-sia. Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala dan keluar kamar.
Jam 1 siang baru terlihat tanda-tanda tubuhnya bergerak setelah tidur bagai mumi, diam tidak bergerak sedikitpun. Hanya cacing-cacing di perutnya yang dapat membangunkannya. Dia mulai merasa lapar dan terbangun. Setelah bangun tidur seperti biasa dia menuju meja makan di ruang tengah. Sepotong tempe goreng yang sudah dingin menjadi korban pertamanya. Sambil terus mengunyah korban kedua, yaitu tahu, dia menyadari tak dijumpai seorangpun di rumahnya siang itu, sangat sepi di sana. Kemudian dia berjalan menuju ruang keluarga berniat menyalakan televisi. Sesampainya di sana dilihatnya sebuah kertas menempel di layar televisi.
MAS ADEN YANG PEMALAS. YANG PASTI BARU BANGUN DARI TIDURNYA. AYU, IBU, DAN BAPAK PERGI DULU KE RUMAH BUDE, MENJENGUK BAYINYA MBA NOVI. DI LEMARI BELAKANG ADA MIE INSTAN, MAKAN SIANGNYA MIE SAJA YA. TADI BURU-BURU NGGAK SEMPAT MASAK. BAIK-BAIK YA DI RUMAH. KALAU ADA MALING PURA-PURA TIDUR AJA BIAR NGGAK DI APA-APAIN HEHE.
ADIKMU YANG CANTIK

AYU
Dilipat-lipatnya kertas itu membentuk sebuah kapal terbang, dan diterbangkannya memutari ruangan keluarga. Aden mengurungkan niatnya menyalakan televisi, dan berniat menuju dapur untuk memasak mie, tetapi langkahnya terhenti ketika suara telpon berdering.
Kriinggg ... kringgg ...
“Haloo ... selamat pagi eh selamat siang.” Sapa Aden, kesadarannya masih belum terkumpul benar.
“Haloo my friend, apa kabar kawan long time no see?” kata suara di ujung sana yang hafal dengan suara Aden.
“Ah ... baik Ferr, hehe.” Jawab Aden menebak suara cempreng sahabatnya itu.  
“Lama banget nggak ketemu, dah kerja di mana? Kasih kabar dong.”
“Jadi pengacara, Ferr. Pengangguran banyak acara.”
“Wah kebetulan nih, gue ada berita bagus buat lu.” Ferry mengambil nafas sejenak.
“Ayahnya Fifi yang direktur itu, di perusahaannya sedang membutuhkan seorang tenaga akuntansi baru. Gue langsung inget lu. Gimana tertarik nggak? Pokoknya beres deh, gue jamin lu diterima.” lanjut Ferry bersemangat.
“Di Jakarta ya?” tanya Aden lirih, seolah bertanya pada diri sendiri. Dia berpikir.
“Gimana?” Ferry memburu.
“Aku coba deh, dah jenuh juga nganggur hehe.”
“Siiiipp. Nanti gue hubungin lagi.”

“Aku tunggu ya. Thanks Ferr.”

============================

“Bu, mas Aden besok mau ke Jakarta. Ade ikut boleh kan? Ada permainan baru di Dufan yang ade belum coba. Mumpung ini liburan sekolah, boleh ya bu? Boleh ya bu?” rengek Ayu pada ibunya saat makan malam.
“Mas Aden ke Jakarta bukan untuk liburan, dia mau wawancara kerja. Nanti malah kamu bikin repot dek.” Ibunya halus memberi pengertian.
“Tapi kata bapak boleh, ya kan pak” Ayu kembali merayu, mengharap pembelaan dari bapaknya.
“Iya boleh tapi nanti kalau ade sudah punya pacar, hehe.” Bapaknya meledek.
Aden hanya memperhatikan tingkah manja adiknya yang sangat disayanginya itu. Ayu memang bermasalah dengan yang namanya pacaran. Sudah menginjak kelas tiga SMA tetapi belum pernah sekalipun berpacaran atau dekat dengan yang namanya cowok, selain bapak dan kakak satu-satunya itu. Berat tubuhnya bisa dibilang sangat jauh dari ideal, hal itu mungkin yang membuatnya tidak percaya diri dan menutup diri dari cowok.
Mendengar jawaban bapak semuanya tertawa kecuali Ayu yang langsung diam seribu bahasa, mengambek. Piringnya yang telah kosong, ditambahkan lagi nasi ke dalamnya. Itu sudah porsi ke dua pada makan malam kali ini. Aden tersenyum geli melihatnya. Adiknya itu kalau sedang mengambek memang makannya semakin banyak.
“Sudah dek, jangan nangis. Nanti mas Aden beliin balon deh, Adek mau warna apa?” Aden tak tahan untuk tidak ikut menggoda adiknya tersebut.
“Buuuuu ... , mas Aden jahat. Memangnya ade anak kecil.” Ayu melapor pada ibunya.
“Hihi ... memang anak kecil kok. Kalau memang sudah gede, buktiin dong. Bawa pacar ke rumah. Kenalin sama ibu dan bapak.” Belum puas Aden menggoda.
“Buuuu ... “ Ayu kembali meminta pembelaan dari ibunya. Lauk pauk di meja makan menjadi pelampias kekesalannya. Tidak berhenti mulutnya mengunyah.
“Sudah ... sudah ... jangan ribut lagi. Mas Aden kan hanya bercanda.” bela ibunya.
“Baiklah, sebagai kepala rumah tangga di sini, bapak menimbang dan memutuskan.” Bapaknya berbicara layaknya seorang Camat sedang memimpin rapat di Kecamatan. Ibu, Aden, dan Ayu memperhatikan dengan seksama layaknya seorang Lurah yang sedang menunggu keputusan rapat dari pak Camat.
“Eheemmm ... jika saudari Ayu tidak diberikan ijin ke Jakarta, kemungkinan besar dia akan mengambek sampai seminggu. Dan saudara-saudari pasti sudah tahu apa yang akan dilakukan saudari Ayu jika dia mengambek. Dampaknya akan merembet pada urusan logistik keluarga kita. Dari pada stok makanan sebulan habis hanya dalam waktu satu minggu, maka bapak ijinkan untuk ke Jakarta.” Bapaknya memberi keputusan.

“HOREEEEE!!!!!! Jakata I’am coming.” Ayu memutari meja makan tiga kali, berjoged-joged dan kemudian memberi ciuman tanda terima kasih kepada bapaknya.
 =========================

Bapak dan ibu mengantarkan kedua anaknya ke stasiun Tawang Semarang. Ibu tak henti-hentinya terus mengingatkan agar mereka tidak lupa memberi kabar.
“Jangan lupa memberi kabar. Salam buat Bude dan Jeni.” Pesan ibu kepada Aden.
“Dek, Lumpia dan Wingko ini oleh-oleh buat bude lho. Jangan dihabiskan. Kalau lapar pesan saja makanan di kereta.” bapak mengingatkan Ayu, setengah meledek.
Ayu hanya mengangguk, tidak marah dengan ledekan bapak karena hatinya sedang gembira, akan berlibur. Aden dari sepanjang perjalanan sampai stasiun tidak banyak bicara. Pikirannya masih berputar-putar pada satu pertanyaan. Apa aku sanggup kerja di Jakarta? Kerja kantoran.
Diciumnya tangan bapak dan ibu dengan penuh perasaan. Sudah berumur seperempat abad, tetapi aku masih juga belum bisa memberikan apa-apa untuk kedua orang tuaku, untuk adikku. Batin Aden merintih.
“Pak, Bu, Aden berangkat. Mohon doa untuk kesuksesan Aden. Bapak dan ibu jaga kesehatan ya.” Sekuat tenaga Aden menahan air mata yang mendesak ingin keluar.



Tiga bulan menganggur di rumah benar-benar sangat dinikmatinya. Kedekatan dengan keluarga memang sudah lama tidak Aden rasakan sejak memasuki SMA hingga lulus kuliah. Begitu lulus SMP Aden pindah ke Jogja. Saat SMA di Jogja Aden ikut numpang tinggal di rumah Tantenya, Tante Lis. Begitu kuliah dia memutuskan untuk kost.
Hari pertama di Jakarta mereka lewati dengan rekreasi sepuas mungkin. Mereka ditemani oleh sepupu mereka, Jeni. Kaki Aden pegal setengah mati setelah berjam-jam menemani Ayu dan Jeni berputar-putar di Dufan. Segala permainan hampir tidak dilewatkannya. Belum puas di situ, Ayu mengajak ke Ancol. Aden hanya bisa pasrah menuruti kemauan adiknya itu.

Sesampai di sana Aden memutuskan untuk tidak ikut berenang. Dia hanya duduk-duduk sambil mengawasi adiknya dan Jeni yang tengah asyik bermain air di wahana permainan Ancol. Ingatannya kembali ke masa silam, masa SMA.
Fidhi. Ya. Kolam renang pernah membuatnya sangat malu di depan wanita pujaannya itu.



Aden pulang lebih awal pada hari itu. Panas badannya tinggi, kepalanya pusing. Tante Lis membujuknya untuk periksa ke dokter. Tetapi saat itu uang saku Aden tidak akan cukup jika harus membayar biaya dokter dan obat. Meskipun Aden tahu tantenya pasti yang akan membayar semua biaya dokter, namun Aden tetap tidak mau jika harus ke dokter. Dirinya sudah cukup merepotkan dengan numpang tinggal di rumah tantenya itu.
“Nggak usah tante, paling cuma masuk angin biasa kok. Besok juga sembuh.” Aden menolak ajakan Tante ke dokter saat itu.
“Ya sudah kalau begitu. Biasanya kalau masuk angin tante itu dikerikin. Setelah dikerik baru sembuh. Sini mau tante kerikin?” tantenya membujuk, khawatir dengan keadaan keponakannya itu.
Sebelumnya Aden tidak pernah dikerikin. Tetapi dia sering melihat ibu atau bapaknya di rumah kalau masuk angin dikerikin. Dan memang sembuh setelah itu. Aden enggan sebenarnya dengan tawaran tante. Tetapi badan rasanya sudah tak karuan, memaksa Aden untuk mau mencoba tawaran tante.
“Boleh deh, te. Maaf merepotkan.” Jawab Aden. 
Dan keesokan harinya Aden memang benar sembuh. Badannya segar kembali. Surat ijin yang sudah dibuatnya semalam diurungkannya untuk dikirim ke sekolah.
Hari itu pada jam pertama adalah pelajaran olah raga.
“Hari ini ujian praktek berenang ya anak-anak.” Pak Sorichi mengingatkan di depan kelas.
Hampir seluruh kelas bersorak kegirangan.
“Asyik bisa survey lagi.” Teriak Fuad, ngeres.
“Yesss ... akhirnya celana renang sexy gue yang baru beli bisa dipakai.” Gumam Ratna, genit.
“Horayyy, horayy, bisa ... “ Santi menghentikan kalimatnya.
Bisa dibopong lagi sama pak Sorichi yang keren. Aku akan pura-pura tenggelam lagi ah.” Shanti melanjutkan kalimatnya, dalam batin.
Aden merasa seolah-olah dirinya tengah dikelilingi oleh sekumpulan singa laut yang begitu merindukan air. Keringat dinginnya tanpa sadar keluar tanpa permisi terlebih dahulu. Karena pulang lebih awal dia memang tidak membaca pengumuman dari guru olahraga, pak Sorichi, kemarin siang. Memberitahukan bahwa besok akan ada ujian praktek berenang. Tentunya dengan harapan siswa tidak lupa membawa pakaian renang keesokan harinya.
Terpaksa dia harus ikut jika mau lulus mata pelajaran ini. Beruntung rumah Upi dekat dengan kolam renang tempat ujian.
“Pi, aku pinjam celana renangmu dong. Rumahmu kan dekat kolam renang. Balik rumahmu bentar yuk?” mohon Aden pada Upi.
“Tenang kawan. Saya adalah sahabat yang pengertian. Saya sudah membawa dua celana karena saya tahu kamu kemarin pulang terlebih awal dahulu. Jadi saya tahu kalau kamu pasti tidak membaca pengumuman. Pasti tidak membawa celana renang. Kita langsung ke kolam renang saja. Saya membawa dua celana pagi ini.” Jawab upi dengan gaya bicaranya yang khas, panjang lebar dan berputar-putar susah dimengerti.
“Hehe ... sipp ... thanks ya, Pi.” Ucap Aden lega, merasa tertolong.
Aden tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya. Sekali pikun ya tetap pikun. Ceroboh tak bisa dipungkiri.
=======================
 Aden tidak terlalu suka berenang. Ketika teman-teman sekelasnya telah bersiap sejak awal dan berenang sendiri sembari menunggu giliran dipanggil untuk ujian, Aden hanya duduk di pinggir kolam renang sambil memperhatikan Fidhi yang telah turun ke air sejak awal. Sangat khusyu.
Keindahan body Fidhi semakin terlihat jelas saat dia mengenakan pakaian renang. Hal itu membuat Aden seakan terhipnotis tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya, matanya tak pernah lepas memandang gadis itu dari kejauhan. Pikirannya menjadi ngeres tidak karuan.
Jin, ubahlah aku menjadi pakaian renang yang dikenakannya.
Jin, ubahlah aku menjadi air di kolam renang itu.
Jin, ubahlah aku menjadi handuk yang akan dipakainya nanti.
Atau sabun mandinya, atau shamponya juga boleh.
Khayalannya melayang terbang bagai kapas ringan, yang kemudian menutup telinganya. Tidak didengarnya suara apapun selain suara desir ombak-ombak kecil yang dibuat oleh gerakan-gerakan Fidhi di dalam air.
Sejak awal satu persatu siswa dipanggil sesuai dengan urutan absen untuk diuji keahlian berenangnya. Dan tibalah giliran Aden yang masih saja belum sadarkan diri dari pengaruh hipnotis Fidhi.
“Nomor absen 24, Linggar Radendya!” pak Sorichi memanggil. Menyadarkan Aden yang kaget hingga hampir terjengkang dari kursi reot yang di dudukinya terletak di pinggir kolam renang. Bergegas Aden menghampiri pak Sorichi.
“Kamu mau berenang dengan seragam sekolah itu ya?” pak Sorichi setengah membentak, kesal mendapati Aden yang belum siap.
“Maaf pak, badan saya sedikit kurang fit, jadi sengaja gantinya nanti kalau sudah dipanggil.” Aden beralasan, berbohong.
“Dingin.” Aden menambahkan lirih, berbohong lagi.
Pak Sorichi hanya geleng-geleng kepala. Percuma marah-marah pada siswa yang di kantor guru sudah terkenal sering bikin masalah ini.
Buru-buru Aden mencari celana di dalam tas Upi. Mengambilnya dan berlari ke kamar ganti. Tanpa menyadari bahwa di celana kolor itu terdapat gambar Teletubies. Gambar yang cukup besar dan pasti cukup jelas terlihat. Gambar yang telah membuatnya ditertawakan seluruh anak-anak kelas, termasuk Fidhi. Ditambah lagi dia lupa kalau kemarin habis kerikan, dan bekas kerikan berwarna merah tua itu belum hilang di seluruh punggung dan dadanya, menambah penderitaannya hari itu.
“Wow tatto yang keren.” Ledek Sari mengomentari bekas kerikan Aden, sambil tertawa hampir terguling-guling di air.
“Aden, Lala, Pooh, berpelukaaannn.” Rani menambahkan, disambut tawa dari anak-anak kelas.
HAHAHAHAHA ...
Seusai ujian renang, di kelas.
“Tega kamu Pi, kasih pinjam celana kok kolor? Ada gambar teletubiesnya lagi.” Protes Aden pada Upi.
“Maafkan saya teman. Ini salah faham. Salah persepsi. Kamu salah mengambil celana. Celana yang saya sediakan untuk kamu itu di seleretan tengah. Kalau yang di seleretan pinggir itu punya adik saya. Tempo kemarin itu dia meminjam tas saya. Saya juga lupa mengeluarkan celana tersebut.” panjang lebar Upi menjelaskan.
“Ya sudahlah saya maafkan saja kesalahan kamu.” Kata Aden singkat, bahasanya ikut terbawa.

Hancur sudah reputasiku di depan Fidhi.” Batin Aden, lesu.

-Bersambung-

Artikel Terkait



2 komentar:

  1. mantap juga gan.,
    BTW bikin sendiri taw copas...?
    salam kenal aja ya..,
    ditunggu follbeknya.
    terus berkarya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thx, Bikin sendiri, hasil dr ngelindur gan :P

      Hapus