Kamis, 15 Maret 2012

WAJAH INDONESIA (Tak wajar dan sejajar)

Aku terbangun, kemudian berjalan pelan menuju keluar pintu dan mendapati ribuan sinar matahari menampar wajahku, terasa hangat namun sedikit menyengat.

Kulempar pandanganku kepada sekitar. Kuingat-ingat kejadian terakhir yang menimpaku.


"Kemarin ... ah mungkin dua hari yang lalu ... " batinku ragu.


"Ah, mungkin tiga hari yang lalu, atau bahkan seminggu yang lalu, aku dikejar-kejar oleh tiga orang sipir tahanan." batinku, sedikit yakin kali ini.

"Hebat benar aku ini bisa lolos dari kejaran mereka" aku bangga.


"Satu di antara mereka perutnya tambun, wajar saja aku bisa lolos darinya. Satunya lagi wajahnya tampan, tapi larinya nampak gemulai, bukan masalah bagiku. Satu sipir terakhir yang bertubuh kekar berotot macam akar belukar dan bertampang seram, aku tak menyangka bisa lebih cepat darinya." gerutuku sambil tersenyum sendiri.

"Ah, jangan-jangan mereka masih berkeliaran di sekitar sini mencariku." batinku, waspada.


Aku berjalan mengendap-endap untuk memastikan mereka sudah tidak di sekitar sini lagi. Langkahku terhenti di depan sebuah papan besar di samping pintu pagar luar masjid, bertuliskan,

TANAH SENGKETA.

"Ah, iya benar aku ingat, aku berlari sangat kencang dan langsung masuk ke dalam masjid ini dan bersembunyi di kolong meja mimbar tempat khutbah di sana. Rupanya aku terlalu lelah dan tertidur."

Tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Rasanya aku benar-benar sangat rindu dengan sepiring nasi. "Ah tidak, dua piring atau tiga piring nasi rasanya akan mampu aku habiskan kali ini."

Setengah berlari aku berjalan menuju keluar gang, di mana di gang tersebut hanya bangunan masjid tua itulah yang berdiri. Di sekitarnya hanya semak-semak belukar liar dan pohon-pohon tua berdiri yang nampak lelah.

Setibanya di ujung gang aku terperanjat, "Ada apa ini? Semuanya nampak tak wajar dan sejajar?"

Kudapati sebuah kewajaran dalam ketidakwajaran. Sebuah jalan yang cukup besar memotong gang tersebut, dan di sepanjang jalan tersebut, di kanan kirinya berjajar rumah-rumah dengan bangunan yang nampak sama persis. Dari model rumahnya, luasnya, hingga sampai warna cat temboknya pun sama. Yang membedakan hanya nomor rumah yang terlihat jelas di samping pintu pagar setiap rumah.

Seketika aku lupa dengan target tiga piring nasiku. Aku sibuk mengingat-ingat hal terakhir yang ku alami. Aku memang berlari tunggang langgang tak karuan dengan tiga sipir di belakangku, tapi aku melihat dan ingat benar bahwa di sepanjang jalan ini tadinya adalah beberapa rumah besar yang berlantai dua bahkan tiga, dan sesekali menyelinap beberapa rumah kecil yang sebenarnya lebih pantas disebut rangkaian beberapa papan-papan untuk tempat tinggal.


"Ke mana bangunan-bangunan besar dan rumah-rumah papan itu?" tanyaku heran.


Bagai sebuah alarm, suara gaduh dalam perutku menyadarkanku dari keheranan luar biasa. Lalu ku abaikan rasa heranku dan lebih berpihak kepada rasa laparku.
Jalanan di sini sungguh sepi, sama sekali tidak terlihat orang di sana. Aku berjalan menyusuri jalan itu dan berharap menjumpai sebuah warung makan yang terselip di antara rumah-rumah kembar ini, tapi ternyata tidak, hingga aku sampai pada sebuah perempatan jalan. Aku baca sebuah nama jalan yang tadi aku lintasi,
Jalan Dahlan Iskan

Hingga baru kusadari bahwa tiga jalan yang lain ternyata cukup ramai. Ada dua orang polisi di sana yang nampak serius memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Kembali aku menyadari ketidakwajaran dan kesejajaran di depanku. Tidak ada kendaraan di sana, sama sekali tidak ada kendaraan. Hanya sesekali melintas beberapa sepeda dan dengan model yang sama.


"Hehe ... , pak polisi, serius sekali memperhatikan, apa yang akan kau tilang?" ejekku dalam batin, memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan.


Tetapi kemudian salah seorang polisi tersebut berdiri dan meniup peluitnya. Dia segera berlari mengampiri seorang pejalan kaki, seorang laki-laki muda dengan kumis tipis dan berpakaian sangat rapi, layaknya seorang eksekutif muda. Polisi tadi mengeluarkan sebuah kertas dan menulis sesuatu di kertas tersebut, lalu menyerahkan kertas tersebut kepada pemuda itu. Dengan wajah yang nampak mengantuk pemuda itu kemudian berlalu pergi.


Sebelum kedua polisi itu melihatku, aku segera beranjak pergi dengan langkah sedikit cepat. Ku ayunkan kakiku menuju sebuah jalan yang kali ini nampak lain dari jalan yang ku lalui tadi. Nampaknya ini wilayah perkantoran, aku menebak. Di sepanjang jalan itu berbaris rapi kantor-kantor. Model bangunannya bervariasi dan besar kecilnya pun bervariasi. Mulai kusadari bahwa aku menjadi bahan perhatian orang-orang di sekitarku. Nampak jelas raut muka iba mereka terhadapku dan mereka menyapa dengan senyuman dan kubalas pula dengan senyuman. Aku berada di tengah-tengah orang berpenampilan rapi, sementara penampilanku sungguh nampak mencolok perbedaannya. Segera kupercepat langkah hingga sampai pada ujung jalan dan aku segera berbelok ke sebuah jalan yang lain.

Aroma masakan menusuk hidungku. Merangsangku seolah menjadi manusia penjelmaan serigala lapar. Bagai maling beringas aku menyelinap masuk ke dalam sebuah rumah makan di antara beberapa rumah makan yang lain. Kudapati tiga orang perempuan yang tengah sibuk memasak.


"Mba, saya pesan nasi tiga piring, lauknya terserah apa saja, seadanya. Tolong cepat ya, saya sangat lapar. Kalau lama bisa-bisa saya terkapar." cerocosku asal, mengagetkan mereka yang tidak menyadari kehadiranku. Mereka hanya diam melongo, memadangku penuh keheranan.


Tiba-tiba seorang polisi datang dan melakukan seperti apa yang dilakukan polisi di perempatan jalan tadi. Dia menuliskan sesuatu di kertas dan rupanya di kertas rekapan aku disuruh cap jempol di atasnya. Kemudian satu kertas diberikan kepadaku dan satu rekapan kertas dibawanya. Polisi itu tidak bicara sama sekali namun keramahan terpancar dari wajahnya. Sembari tersenyum dia meninggalkan aku dan tiga orang yang sedari tadi masih melongo. Ku baca tulisan dalam kertas tadi,
Pelanggaran : Makan saat jam kerja.

"Ah, ada-ada saja ... mba tolong saya lapar." pandanganku beralih pada ke tiga orang tadi.


Kemudian salah satu di antara mereka segera menjawab, "Silahkan mas, itu ada piring di sebelah sana, silahkan mengambil sendiri."


Tanpa tedeng eling kusambar makanan-makanan itu. Aku makan dengan sangat lahap, dan sangat rakus bagai tikus. Setelah merasa sangat kenyang aku menghentikan makanku dan duduk sempoyongan bagai orang mabuk laut. Seorang yang tadi mempersilahkanku makan kemudian duduk di sebelahku.


"Sangat lapar ya mas?"


"Tadi sih iya mba, tapi sekarang sangat kenyang, jadi mengantuk."


"Jangan tidur di sini mas, nanti polisinya datang lagi."


"Mereka kan sudah pergi dari mana mereka tahu kalau aku tidur di sini?"


"Tuh, ada itu mas." katanya sambil menujuk sebuah kamera di sudut atas ruangan.


"Wah, pantesan tadi mereka tahu saya di sini. Tapi kok saya dikenakan pelanggaran ya mbak?" tanyaku setengah sadar setengah tidak akibat mengantuk karena kekenyangan.


"Karena mas makan di saat jam kerja." Jawabnya singkat.


"Oh iya, tadi saya sudah baca di kertas yang pak polisi tadi kasih."


...... kemudian kami terdiam, dan aku hampir tertidur, tapi kemudian terbelalak kaget.


"MAS JANGAN TIDUR DI SAAT JAM KERJA!" katanya setengah berteriak membuatku kembali terjaga. Aku segera bangkit dan menuju toilet. Kubasuh mukaku hingga merasa segar kembali.


"Sejak kapan ada peraturan nggak boleh tidur dan makan saat jam kerja mbak?" selidikku.


"Mas ini dari luar angkasa ya? Atau mas ini turis barat ya?" dia balik bertanya.


"Enak saja, saya ini orang Indonesia asli mba. Orang bumi asli, bumi pertiwi dan tercinta" jawabku bangga.


"Habis melancong ke luar negeri ya mas, bertahun-tahun nggak pulang?"


Aku terdiam sejenak. Dan menengguk segelas air putih di depanku.


"Beberapa bulan yang lalu saya dipenjara mba. Kasusnya sebenarnya sepele. Saya mencuri sebuah sandal di sebuah kantor. Ternyata sandal tersebut milik seorang pejabat." Aku mulai bercerita.


"Lalu?" dia memburu, penasaran.


"Ya itu tadi, saya tertangkap dan dimasukan ke penjara. Di penjara berbulan-bulan menunggu sidang tapi sidang ternyata nggak datang juga. Rasanya lama sekali di dalam sana. Akhirnya saya nekat kabur dari penjara. Saya lari sangat kencang hingga akhirnya berhasil lolos dan bersembunyi di sebuah masjid tua. Saya kelelahan dan tertidur. Kemudian terbangun, hingga akhirnya ... ya sampai di sini ini." jelasku panjang lebar.


"Kok mencuri mas? Saya kira di negara ini sudah tidak lagi ada orang mencuri. Lagipula mencuri sandal masa di penjara selama itu? Memang mencuri itu tidak akan pernah dibenarkan, tapi mencuri sendal hukumannya seharusnya tidak selama itu. Masa sih hukum kita seperti itu?" Dia tak percaya.


"Saya sih sudah nggak heran mba. Beberapa bulan sebelumnya ada tetangga saya yang niatnya meminta timun dari kebun tetanggaku yang lain, tetapi akhirnya dipenjara beberapa tahun karena tuduhan mencuri. Ya begini ini negara dan hukum kita mba." kataku mengeluh.


"Mas jangan sembarangan kalau bicara ya. Setahu saya pemimpin kita sekarang sangat bijaksana dan adil. Tidak ada lagi penindasan, pemiskinan, korupsi, dan hal-hal buruk lainnya. Semuanya sejahtera dan hidup damai di negara ini." katanya dengan nada sedikit meninggi, tanda tidak terima.


"Lho, mba kok ngeyel? Jelas-jelas saya mengalami sendiri kok." Bantahku.


Kami beradu pandang dan nampak tidak mau saling mengalah. Aku berdiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang pamungkas yang tersimpan di saku rahasiaku.


"Berapa makanannya? Saya bayar!" tanyaku ketus.


"Lima ratus rupiah." jawabnya datar.


"Hahahaha, murah ternyata, nih saya bayar seribu, sisanya ambil saja." kataku sok, sambil memberikan selembar uang seribuan.


Saya bergegas berjalan akan keluar. Tetapi belum sampai pada pintu keluar orang tadi memanggilku.


"Mas, ini uangnya sudah nggak terpakai. Bayar makan kok pakai uang kuno?"


"Uang kuno bagaimana? Muka saya memang kuno, tapi bukan berarti uang saya jadi ikut-ikutan kuno mbak." aku menjelaskan.


"Ini sih uang tahun dua ribu sepuluh mas, jelas-jelas tuh ada tahunnya. Sudah nggak terpakai ini uang."


DEG! Jantungku berdetak mendadak cepat.

Mataku mencari sesuatu yang mungkin menempel di dinding. Tetapi tidak kutemukan.


"Mba, ada kalender?" tanyaku dengan suara gemetar.


"Tidak ada mas, tapi ini tanggal sebelas Januari."


"Tahun?" aku memburu.


"Dua ribu empat puluh" jawabnya datar.


DEG!

- - - -
"Mas, tertidur selama tiga puluh tahun?" tanyanya heran, itu pertanyaan ke sepuluhnya setelah aku menjelaskan semuanya. Aku sendiri tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku lebih banyak menengguk air putih di depanku ketimbang menjawab pertanyaan yang sama dan berulang-ulang.


"Jadi Indonesia sekarang sudah makmur ya mba?" aku balik bertanya.
"Iya mas, bahkan bisa dikatakan negara ini adalah pemimpin dunia saat ini." jawabnya.


"Sehebat itukan?"


"Tidak ada kelaparan, tidak ada pengangguran, tidak ada kemiskinan, tidak ada korupsi, tidak ada penindasan, tidak ada pembunuhan, tidak ada kesedihan." Jelasnya. Aku mengangguk-angguk.


"Itu di jalan Dahlan Iskan kok saya lihat semuanya rumah kembar mba?"


"Oh itu jalan khusus perumahan. Dan bukan cuma di situ mas, di jalan-jalan yang lain yang komplek perumahan juga rumah-rumahnya sama semua."


"Kok di jalan yang satunya lagi, kantor-kantornya berbeda-beda mba?"


"Jadi di negara ini, siapapun orangnya, entah itu pejabat, pengusaha, orang asing, ataupun masyarakat biasa, rumahnya sama semua, dan memang harus sama. Sementara kalau kantor-kantor boleh berbeda besar kecilnya tergantung skala usaha dan jumlah karyawannya. Tapi tidak untuk kantor pemerintahan yang juga harus sama satu sama lain."


"Wah, banyak sekali perubahan ya, jelaskan satu persatu mba." Aku mulai tertarik.


"Baiklah saya jelaskan tapi mungkin tidak semuanya karena keterbatasan waktu." Katanya. Aku membetulkan posisi duduk dan mulai menyimak.


"Semua orang harus tinggal di rumah yang sama besarnya. Dilarang bermalam di kantor, kecuali dengan ijin dan keperluan yang sangat penting. Jam kerja di mulai pukul 8 sampai pukul 12, istirahat satu jam dan mulai jam kerja lagi dari jam 13 sampai jam 15. Saat jam kerja kita dilarang tidur di manapun, baik di rumah sendiri ataupun di tempat-tempat umum, juga dilarang makan saat jam kerja. Di negara kita juga dilarang menggunakan kendaraan. Hanya sepeda saja, itupun khusus bagi orang-orang sakit. Jadi semuanya harus berjalan kaki."


"Tadi saya lihat seorang polisi menilang pejalan kaki?" potongku bertanya.


"Oh, itu mungkin karena dia berjalan terlalu pelan. Jadi jalan kaki pun tidak boleh pelan, harus dengan kecepatan sedang atau cepat."


"Wah, berarti harus produktif ya?"


"Ya benar. Eh mas, sebentar lagi waktunya istirahat dan saya harus mempersiapkan makanan untuk orang-orang kantor, nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita."

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar