Pada suatu hari yang bukan minggu. Kapan tepatnya saya lupa, yang
jelas bukan hari minggu. Jika anda tanya, kok saya bisa yakin benar
bahwa saat itu bukan hari minggu? Maka akan saya jawab, karena biasanya
pada hari minggu ku turut ayah ke kota. Sedangkan pada saat itu saya
melakukan perjalanan ke sebuah desa.
Saya dibuat takjub
saat sampai di desa tersebut. Sebuah desa pelosok yang sangat makmur,
tentram, dan ramah. Saya disambut bak seorang raja.
Rupanya
saat itu sedang ramai kampanye pemilihan kepala desa. Namun anehnya,
sama sekali tidak ada gambar-gambar besar wajah calon kepala desa.
Berbeda dengan di kota saya, kota tetangga, kota di sebelahnya kota
tetangga, dan kota pusat pemerintahan, yang saat kampanye di mana-mana
terdapat gambar orang-orang yang mencalonkan diri. Baliho besar,
spanduk, hingga pamflet tertempel di mana-mana. Masih mending kalau
wajah-wajahnya tampan rupawan atau cantik jelita, mungkin masih bisa
dinikmati. Sedangkan mereka? Sungguh merusak pemandangan. PEMANDANGAN
JELEK YANG DIBUAT DENGAN BIAYA MILYARAN. Ironis.
Itu kota
saya. Di desa ini berbeda. Dari pada membuang-buang uang untuk
gambar-gambar perayu, model kampanye di sini sungguh menyehatkan. Tidak
ada pamflet, spanduk, apalagi baliho. Tidak ada uang yang terbuang
sia-sia seperti kertas-kertas kampanye yang nanti kalau sudah selesai
pemilihan pasti dibuang, disobek, dibakar, dan paling mending kalau
didaur ulang.
Hari-hari kampanye sangat membahagiakan
masyarakat di desa ini. Calon kepala desa mengundang seluruh masyarakat
di lapangan desa. Bukan untuk bermain sepakbola tetapi untuk silaturahmi
tatap muka, menyampaikan visi misinya. Tidak ada panggung besar dengan
artis-artis dangdutnya. Yang ada adalah tiga buah microfon dan dua sound system,
dan meja-meja berjejer dengan penuh makanan dan minuman di atasnya.
Sangat cukup untuk semua masyarakat yang hadir. Tentu saja ada kursi
juga.
Masing-masing calon berlomba-lomba untuk memberikan
penjamuan terbaik kepada masyarakat. Sudah pasti itu akan memanjakan
lidah dan perut masyarakat. Tidak ada adu argumen, adu pidato politik.
Yang ada hanyalah adu keramahan kepada masyarakat, adu penjamuan kepada
masyarakat, dan mereka saling berlomba menyayangi masyarakat.
Calon
A membuat penjamuan dengan sambal goreng tempe, urab, gemblong tekek,
awul-awul dan lengko. Calon B tidak mau kalah, dia menjamu masyarakat
dengan sop buntut, roti, dan sate kambing muda. Calon C lebih ingin
memanjakan masyarakat dengan steak sapi, hamburger, pizza dan jus. Begitu seterusnya sampai masa kampanye berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar