Sabtu, 10 Maret 2012

PLAYBOY KARET (Bab IV - Seorang Lelaki Harus Berwibawa)

Bab IV
Seorang Lelaki Harus Berwibawa

Aden telah memasuki Bab IV dalam skripsinya. Semangatnya semakin tidak karuan, meluap tak terbendung. Malam itu hujan cukup deras. Setelah selesai mengetik dia berniat segera menge-print untuk bimbingan besok. Tetapi printer miliknya rusak.
“Besok pasti nggak sempat, sekarang aja aku cari rental komputer.” Kata Aden pada Ferry yang mengingatkan agar ngeprintnya besok saja karena sudah larut malam dan juga hujan turun cukup deras.
“Pinjam Hassan dong, Ferr?”
“Bawa aja.” Ferry mengijinkan, hatinya luluh dengan semangat membara temannya itu. Ferry melanggar janjinya untuk tidak akan lagi meminjamkan Hassan pada Aden setelah Aden tega meninggalkan Hassan kepanasan dan kehujanan begitu saja di depan rumah Fidhi.
Di tengah hujan yang semakin lebat, Hassan setia menemaninya berputar-putar mencari rental komputer. Tidak sulit bagi Aden untuk menemukan rental komputer karena letak kostnya yang dekat dengan kampus Universitas Gajah Mada. Di sana terdapat banyak rental komputer. Aden berhenti di depan sebuah rental komputer yang cukup besar. Dengan payung yang dipinjamnya dari Andry dia menerobos hujan dan masuk ke dalam rental tersebut.
“Mas, mau ngeprint bisa?” tanya Aden pada lelaki bermata sipit penjaga rental.
“Ya bisalah mas, namanya juga rental komputer. Kalau mau berenang atau karaokean itu baru nggak bisa, hehe.” Jawab penjaga rental sok akrab.
“Mana datanya?” lanjut si penjaga rental.
“Sebentar mas.” Aden mencari-cari sesuatu di sakunya. Di saku kanannya hanya ditemukan kunci Hassan, di saku kirinya hanya ditemukan selembar uang lima puluh ribu rupiah. Saku belakang, kosong. Bahkan dia lupa membawa dompet.
Pikun Kronis. Ceroboh Habis.
“Duh mas, ke mana ya flashdiscnya? Jin di sini doyan makan flashdisc ya?” Aden bingung. Celinguk kanan celinguk kiri.
“Tadi di sini kok,” lanjut Aden sambil menunjuk sakunya.
“Lho mana saya tau mas, ketinggalan kali.” Jawab penjaga rental sambil kemudian pergi untuk melayani orang lain.
Untung saja masih ada pulsa.
Pasti kau bisa melanjutkanya. Pasti kau bisa melanjutkannya .... “Ya hallo” suara keren vokal Duta SO7 berganti menjadi suara cempreng Ferry.
“Fer, tolong dong liatin di kamarku. Ada Flashdisc nggak.”
“Iya sebentar.”
Tak lama kemudian.
“Ada Den. Parah lu ah, masih nyantol tadi di USB komputer lu.” Suara Ferry terdengar di ujung sana.
“Hehe ... Ferr.” Aden memanggil.
“Iya, kenapa?” jawab Ferry ketus.
“Hehe ... minta tolong anterin sini dong. Pinjam motor Andry. Repot kalau mesti balik lagi pake Hassan.” Rayu Aden.
“Kampret lu ah. Dasar pikun.”
 “Biarin, yang penting ganteng, hehe.”
“Lu ulang tahun kapan?”
“Empat Agutus. Kenapa?”
“Tar gue kadoin Cerebrovit satu dus. Nyusahin orang aja lu ah. Pikun kok dipelihara.” Ferry mengomel.


Sambil menunggu sahabatnya itu datang Aden duduk di depan rental, sebatang rokok Marlboro Light dihisapnya penuh perasaan. Tiba-tiba sebuah mobil Honda Jazz menerobos dari balik air hujan. Berhenti parkir di sebelah Hassan.
DEG!!! Hampir saja Aden terbatuk karena kaget.
Neon?” dalam batinnya.
Dan Fidhi.” Dilihatnya Fidhi keluar dari mobil itu. Ingin rasanya Aden bersembunyi. Namun tidak ada tempat, hanya ada sebuah kardus kosong di depannya. Tidak mungkin bersembunyi di situ. “Emangnya aku Indomie.” Batin Aden mengurungkan niatnya. Terlambat. Fidhi telah melihatnya.
“Hai. Ketemu lagi, hehe.” sapa Fidhi, akrab.
“Hai juga Fi.” Balas Aden grogi.
“Masih ingat nggak?” tanya Fidhi sambil merangkul lengan Neon.
“Siapa ya?” Aden pura-pura lupa.
“Ini Neon, teman sekolah kita dulu. Inget nggak?”
“Oh iya Neon, kalian masih pacaran? Wah awet banget. Selamat ya.” Aden berpura-pura. “Hai ...” lanjut Aden menyapa Neon.
Neon hanya membalas senyum.
Masih tetap belagu seperti dulu. Batin Aden, menilai.
“Oh iya, kemaren kita sempat bertemu. Di jalan. Di kantor polisi juga.” Aden memberitahu.
“Di kantor polisi?” Fidhi heran.
Neon melotot seketika. Seakan memberi ancaman agar Aden tutup mulut.
“Oh bukan ding, hanya mirip aja kok.” Aden berbohong. Tidak ingin ribut di depan Fidhi.
“Ohh ... eh, sekarang di mana? Kuliah atau kerja?” Fidhi bertanya. Pertanyaan yang membuat urat malu Aden mengencang.
“Aku masih kuliah.” Jawab Aden lirih. Mukanya merah tak bisa disembunyikan.
“Ohhh ... hehe masih badung juga ya, kamu. Sama seperti waktu SMA dulu.” Fidhi berusaha terlihat memakluminya. “Wajarlah kalau anak cowok.” Lanjut Fidhi.
Neon masih sibuk dengan si penjaga rental. Membiarkan Fidhi dan Aden mengobrol.
“Kalau Fidhi sekarang masih kuliah atau sudah bekerja?” Aden memberanikan bertanya.
“Aku kuliah di sini, UGM.” Jawab Fidhi enteng.
Olala ... dia juga masih kuliah rupanya. Yes ... aku nggak sendirian, masih ada yang belum lulus juga ternyata.” Batin Aden, kepercayaan dirinya kembali tumbuh, sedikit.
“Lho, bukannya kamu itu rajin dan pintar, kok belum lulus? Pasti pacaran terus ya?” tuduh Aden setengah bercanda, sambil melirik ke arah Neon.
“Oh ... eh, aku sudah lulus S1 kok. Sekarang kuliah lagi, ngambil S2 di sini.” Fidhi menjelaskan.
DEG.
Urat malu Aden seakan semakin mengencang, terus mengencang dan, Tes ... seperti terdengar putusnya urat malu Aden. Kali ini dia benar-benar malu dan jatuh kewibawaannya di depan perempuan pujaannya itu. Beruntung Ferry datang dengan motor dan jas hujan pinjaman dari Andry.
“Eh maaf Fi, sudah dulu ya. Buru-buru nih dah telat. Ada acara dengan teman.” Aden beralasan, agar bisa segera pergi dari tempat tersebut. Menghilang sejauh mungkin dari pandangan Fidhi.
Fidhi tersenyum. Mengangguk.
“Tuh, dia sudah datang.” Aden menunjuk Ferry yang masih di atas motor dengan muka setengah tertutup helm.
Sebelum Ferry turun dari motor Aden bergegas menghampirinya dan masuk ke dalam mobil. Jika sampai Ferry dan Fidhi bertemu maka akan ada reuni SMA mendadak, bisa-bisa dia masuk koran karena mati akibat berlama-lama menanggung malu di situ.
“Yuk, cabut.” Ajak Aden.
“Lho, nggak jadi ngeprint?” tanya Ferry heran. Tidak menyadari adanya Fidhi di situ.
“Printernya rusak, pindah tempat lain saja.” Aden berbohong. Kemudian buru-buru membawa Hassan pergi dari tempat itu.
Sontoloyo.” Ferry sewot sambil mengekor di belakang Hassan, hujan-hujanan.
Huff ... untung saja tadi Fidhi nggak mengenali Ferry karena tertutup kaca helm.” Batin Aden, lega. Hassan pun meluncur pelan di jalanan yang sedikit banjir, diikuti Ferry yang tidak berhenti mengomel.

“POKOKNYA HARUS TRAKTIR MAKAN!! POKOKNYA HARUS TRAKTIR MAKAN!!”

-Bersambung-

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar