Di atas rumah-rumah kumuh aku terbang. Sambil kulempar tatapan ke segala penjuru arah, tak ada yang indah sama sekali. Air sungai telah lelah mengalir karena terhadang sampah-sampah yang pemalas. Rumah-rumah kumuh yang tak disiplin berbaris namun tak sejajar hanya asal berdiri, pun tak tegap. Tampak hanya beberapa saja pohon yang hampir ajal, kering, menunduk, dan menangis. Sama sekali tak ada indahnya, namun aku suka.
Menjelang siang ini tak banyak manusia di luar rumah. Kucoba menyelinap masuk ke dalam suatu rumah kumuh yang paling "mewah" di daerah ini. Jendelanya besar, tak masalah bagiku untuk memasukinya. Aku terbang mengitari rumah, tak kurang dari satu menit aku telah mengitarinya, cukup lelah rupanya. Dan lapar. Kulihat seorang anak manusia tengah tertidur dengan bertelanjang dada, hanya memakai celana pendek. Mungkin umurnya sekitar lima atau enam tahun. Wajahnya sangat polos. Tak jauh darinya, ibunya tengah sibuk menyetrika pakaian, bertumpuk-tumpuk, dan selalu menyemprot-nyemprotkan cairan yang aromanya sangat tak kusukai.
Dengan sangat pelan aku terbang mendekati si anak kecil. Dengan penuh waspada aku mendarat di pipi si anak, aku tak ingin membangunkannya. Seketika perutku keroncongan, dan air liurku jatuh tak tertahan. Akan kugigit anak ini dan kusedot darahnya sampai kenyang. Tetapi kulihat wajah si anak, aku sungguh tak tega. Demikian polos, kenapa aku harus menggigitnya? aku sungguh berdosa jika demikian. Bukankah dia tak pernah menyakitiku, apalagi menggigitku. Sungguh aku tak mau melakukan ini. Aku mengenyangkan diriku sementara anak ini tersakiti. Ya Tuhan sungguh berdosanya aku ini. Bukankah manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Aku tak pantas menyakitinya. Aku hanyalah seekor Aedes Aegepty.
Ku urungkan niatku. Kukepakan sayap dan terbang keluar rumah. Biarlah hari ini aku berpuasa.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar